Oleh : Mutia Hafidhoh
Indonesia terus berupaya mencapai visi “Indonesia Emas 2045,” sebuah cita-cita untuk menjadi negara maju, adil dan makmur. Namun, di tengah gemuruh ambisi itu, ada satu pondasi utama yang masih rapuh, yakni kesejahteraan guru. Pembangunan sumber daya manusia yang unggul, merupakan kunci utama untuk meraih masa depan. Hal itu sangat bergantung pada kualitas para pendidik. Sayangnya, banyak guru terutama di jenjang sekolah dasar, masih menghadapi tantangan dari segi ekonomi yang membuat mereka merasa cemas. Pekerjaan seorang guru sekolah dasar merupakan fase pendidikan paling mendasar dalam kehidupan anak. Dimana mereka memulai belajar mengeja, membaca, menulis, berhitung, dan membentuk karakter sedini mungkin. Dengan demikian, kualitas seorang guru SD sangat menentukan arah perkembangan anak ke depannya. Meskipun perannya sangat penting, seorang guru terkhusus yang menyandang status honor, terutama di sekolah swasta kecil atau yayasan di daerah-daerah tertentu merupakan sebagai bentuk tantangan yang nyata. Hal ini kerap kali menjadi alasan mengapa banyak orang mundur dari profesi mulia ini.
Pemerintah memang telah membuka berbagai jalur untuk meningkatkan kesejahteraan guru, seperti halnya rekrutmen ASN (Aparatur Sipil Negara) PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) guru SD dan program Pendidikan Profesi Guru (PPG). Namun, masalah kesejahteraan ini tidak hanya terbatas pada guru honorer. Ada pula beban administrasi yang menyita waktu dan energi, yang bisa mengalihkan fokus dari tugas utama mereka, yaitu mendidik. Belum lagi tantangan infrastruktur yang memprihatinkan, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Seorang guru adalah pembangun desa. Mereka tidak hanya mengajar di kelas, menyampaikan materi, serta memaparkan apa yang ada dipapan tulis, tetapi juga terlibat dalam kegiatan literasi dan urusan sosial masyarakat. Pengabdian diri seorang guru SD sesungguhnya melampaui ruang kelas. Di balik semua tantangan itu, ada kebahagiaan non-materi yang tak ternilai, seperti melihat murid-murid yang dulu kesulitan, kini tumbuh percaya diri dan siap melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Guru SD tidak hanya mendidik, tetapi juga membangun masa depan bangsa dari dasar yang kokoh. Kebanggaan membantu siswa-siswi “menjadi orang” tidak dapat dinilai dengan uang.
Untuk mewujudkan “Indonesia Emas 2045,” kita tidak bisa lagi mengabaikan kesejahteraan para guru yang telah mengabdikan diri demi calon pundi-pundi muda negara. Energi, ide, dan semangat perubahan generasi muda saat ini perlu diarahkan untuk menjadi seorang guru. Jika mereka memilih jalur ini, mereka bukan hanya sebatas pengajar, tetapi juga pionir transformasi pendidikan di tingkat paling akar. Mendidik adalah panggilan jiwa, dan sudah saatnya kita memberikan dukungan penuh agar para guru bisa fokus mengabdi tanpa dihantui kecemasan akan kesejahteraan mereka. Kita butuh lebih banyak guru “emas” untuk mencetak generasi “emas,” puls, dan itu dimulai dari ruang-ruang kelas di sekolah dasar.

