Aktor sinetron kenamaan Furry Setya Raharja menjadi pembicara dalam Ngobrol Inti Teater (Nginter) yang diselenggarakan Teater Gema Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Selasa (12/12) malam.
Dalam diskusi melingkar bersama mahasiswa calon anggota Teater Gema, Furry yang dikenal dengan nama Purnomo Tukang Ojek Pengkolan (TOP) ini menceritakan perjalanan kariernya di dunia akting.
Furry menyebut, belasan mahasiswa dari beragam fakultas itu punya antusias tinggi untuk belajar teater. Semangat itu muncul dari beberapa faktor, mulai basic yang dipunya hingga karena keturunan dari orang tuanya.
“Ada beberapa teman yang punya basik berteater, ada beberapa orang bahkan yang masuk ke teater itu keturunan, bapak dan ibunya pernah berteater. Ada juga yang pengin menghilangkan rasa tidak percaya diri, artinya saya masih banyak menemukan motivasi anak-anak baru terutama Teater Gema,” katanya, ditemui di Gedung Pusat lantai tujuh UPGRIS.
Selama lebih kurang dua jam, Furry berinteraksi dengan mereka yang rata-rata mahasiswa semester satu. Diskusi dan berbagi pengalaman menjadikan Nginter bertajuk ‘Teater dan Proses Berakting’ itu berjalan interaktif.
Baginya, akting merupakan kejujuran yang bisa dipelajari secara teknis dari kehidupan sehari-hari melalui olah rasa, olah tubuh, dan olah vokal. Akting teater, menurutnya lebih sulit ketimbang film. Pasalnya, kesalahan adegan di atas panggung tak bisa diulang seperti pada produksi film.
“Kalau ada kesalahan, itu pintar-pintarnya aktor memainkan dan penonton tidak mengetahuinya. Akting itu penerjemahan dari apa yang kita dapat dari naskah. Dalam konteks teater, menerjemahkan secara visual atas naskah yang didapatkan di atas panggung,” ujarnya.
Berakting dalam teater, kata dia, harus menggunakan kekayaan batin dan kejujuran dalam kehidupan. Reaksi yang muncul di atas panggung tak terlepas dari dua faktor tersebut, sesuai dengan naskah yang akan garap.
Termasuk dalam proses berteater saling berkaitan atau kerja kolektif. Dia menyebut, aktor tidak akan menjadi apa-apa tanpa adanya unsur artistik di dalamnya. Begitu pula sutradara membutuhkan pemain, unsur artistik, dan tak kalah penting adalah penonton.
“Inti mendengar adalah menanggapi yang dimunculkan dengan aksi reaksi. Itulah teori akting yang saya pegang sampai sekarang. Dan tepuk tangan penonton itu tidak terbayarkan, sungguh kenikmatan yang luar biasa,” tuturnya.
Furry mengenal seni peran dengan bergabung Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater Gema IKIP PGRI Semarang, sebelum berubah UPGRIS pada 2001 silam. Saat itu, dia tercatat aktif sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS).
“Apa yang saya dapatkan dari Teater Gema ini sangat banyak. Sejarah saya di Teater Gema itu luar biasa, perjalanan hidup yang tidak bisa dilupakan. Bicara saya yang sekarang, tidak lepas pengaruhnya atau mentalnya terbentuk dari Teater Gema,” akunya.
Dalam Nginter kali ini, Furry teringat kembali awal bergabung dengan Teater Gema, 22 tahun silam. Dia menjalani berbagai macam proses. Tak hanya menjadi pemain atau aktor tetapi terlibat dalam isi desain produksi. Mulai lighting, artistik hingga pimpinan produksi sebuah pertunjukan.
“Setelah saya tinggalkan beberapa puluh tahun ternyata teman-teman di Teater Gema ini masih eksis dan tiap tahun regenerasinya berjalan, luar biasa,” kata Furry yang pernah mengikuti Audisi Pelawak TPI musim keempat pada 2007.
Obrolan tentang dunia teater ini diharapkan dapat mendorong generasi-generasi penerus tak berhenti berproses untuk melahirkan karya pertunjukan. Ahmad Rifai, Pembina Teater Gema mengatakan, hadirnya Furry Setya adalah wujud perhatian dan kepedulian dengan proses regenerasi.
“Harapannya mampu memunculkan Mas Furry-Mas Furry berikutnya, yang multi talent, humble, ketika sukses tidak melupakan asal muasalnya.” (*)