Pada bulan Maret silam, saat pandemi tengah mulai mewabah di Indonesia, organisasi pangan dunia di bawah Perserikatan Bangsa-Bansa mengingat ancaman krisis pangan.
Pembatasan aktivitas sosial menyebabkan produksi pangan menurun drastis, dan ini berbahaya bagi ketahanan pangan dunia, terutama negara-negara yang terdampak pandemi. Sejak saat itu, isu ketahanan pangan mulai banyak dibicarakan kembali.
Seturut itu, Rektor Universitas PGRI Semarang, Dr. Muhdi, S.H., M.Hum, menyampaikan perlu adanya kesadaran pada masyarakat untuk berani membuka pertanian dengan cara sederhana dan mandiri, salah satunya aquapanik.
Aquaponik adalah sistem pertanian yang mengolaborasikan akuakultur dan hidroponik dalam lingkungan yang saling menguntungkan. Pada air untuk tanaman hidroponik itu bisa ditambahkan ikan, seperti lele atau mujahir. Ikan-ikan tersebutlah yang akan menyerap toksik dan sisa-sisa pembungan dari tanaman.
“Ketahanan pangan jadi isu penting saat ini, apalagi semasa pandemi seperti ini,” ucap Muhdi saat acara pemecahan rekor Museum Rekor Indonesi (MURI) pemrakarsa dan penyelenggara penanaman aquaponik secara daring dengan peserta terbanyak, di halaman Gedung Utama, 9 Oktober 2020.
Muhdi menambahkan, aquaponik ini sangat mudah dipraktikkan karena bisa dibuat melalui melalui barang-barang bekas. “Di rumah saya sudah mulai banyak menanam tanaman-tanaman pangan lewat aquaponik,” tandasnya.
Pada kesempatan lain, Muhdi sempat menambahkan bahwa meskipun vaksin sudah ditemukan dan pada bulan Desember mulai disebarkan, tapi itu tak menjamin efek pandemi akan segera hilang. “Untuk itu ajakan dari BEM untuk menanam melalui aquaponik perlu diapresiasi.”
Sementara itu, M. Hamid Nur Rahman dari BEM UPGRIS, menyebut lewat penanaman aquaponik serentak ini diharapkan menginspirasi mahasiswa baru untuk mau secara mandiri menanam tanaman pangan dengan barang-barang sederhana.
Foto: Ahmad Rivai/ Teks: Widyanuari Eko Putra