Setiap manusia memiliki masalah. Sekecil apa pun itu, selalu ada uneg-uneg dalam hatinya, baik itu tentang kehidupan pribadinya dengan rekan sesama, rekan kerja, maupun dengan orangtua. Semua itu memerlukan saluran agar tak menumpuk atau terpendam dalam hati dan pikiran sendiri.
Memendam masalah pribadi, tanpa ada upaya untuk mencurahkannya hanya akan membuat kondisi mental seseorang menjadi buruk.
“Kalau ada masalah harus diobrolin. Mengobrol langsung sama orang, meskipun enggak harus menemukan solusi, tapi setidaknya diceritakan dan ada yang mendengarkan,” ucap Nur Suci Yudistira (21), mahasiswa Pendidikan Bimbingan Konseling, Universitas PGRI Semarang, baru-baru ini.
Menurut Suci, memiliki teman mengobrol sangat penting bagi tiap orang. Dengan mengobrol, menyampaikan kegelisahan di dalam hatinya, seseorang akan lebih mudah menjaga kesehatan mentalnya.
“Aslinya, setiap orang punya keinginan untuk didengar ceritanya. Cuma didengerin aja, enggak harus dikasih solusi. Sebab kalau sudah cerita, ada rasa puas, ada rasa lega, plong,” tambah dara kelahiran 21 Desember 2000 ini.
Akan sangat baik bila sesorang menemukan teman dekat agar terjalin sebuah percakapan mendalam alias “deep talk”. Suci yang juga banyak belajar tentang konseling di kampusnya ini mendapat banyak manfaat dari kebiasaan “deep talk”.
“Pas sekali saya suka ngobrol. (Dari mengobrol) nambah banyak pengetahuan berkat pengalaman orang lain. Saya juga bisa belajar melihat situasi dan posisi orang lain saat bercerita ke saya, terurtama saat mereka ada masalah pribadi.”
Namun, Suci juga menekankan untuk mencapai “deep talk” yang berkualitas diperlukan sikap dan respons yang tepat dari rekan bicara.
“Kita harus saling memberi kesempatan berbicara. Ngobrol dari hati ke hati harus pula disertai kepercayaan dan kenyamanan saat bercerita. Banyak mendengar, dan tidak memberi penghakiman maupun membanding-bandingkan masalah seseorang yang tengah mengobrol,” tegas putera bapak Heri W dan ibu Jumarni tersebut.
Suci kian mengerti dan paham pentingnya mengobrol bagi kondisi psikis seseorang setelah mendapat mata kuliah konseling di tempatnya berkuliah.
“Saya merasa semenjak masuk di jurusan BK, saya menjadi pribadi yang lebih pengertian, lebih banyak mendengar orang lain. Punya sisi konselor juga, sedikit-sedikit, enggak langsung. Apalagi saya sering membuat praktik konseling dengan teman sebaya, jadi ini sangat menunjang bidang yang saya tekuni” pungkasnya.
Teks: Widyanuari Eko Putra / Foto: Ahmad Ripai