Hentikan “Jakartasentris” dalam Industri Kreatif, Usung Lokalitas sebagai Materi Konten Digital

Pegiat industri kreatif sudah waktunya untuk tidak lagi berpandangan pada “Jakartasentris”. Seolah-olah semua hal di bidang industri kreatif dan bisnis hiburan harus mengikuti selera orang-orang di Jakarta.

Sebaliknya, keberagaman budaya dan tradisi yang ada di Indonesia sudah sepatutnya dilihat sebagai modal kultural.  Melalui karya dan ide kreatif, keberagaman harus mampu mengangkat potensi lokal.

“Karya kreatif bisa jadi lokomotif, terutama melalui sumber daya manusia dengan ide-ide kreatif. Nilai-nilai tradisi dan kelokalan bisa diangkat melalui karya kreatif, dan dari situ kita tidak hanya mengikuti tren di Jakarta,” ucap Bayu Skak, kreator konten dan sutradara muda asal Malang.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Gala Karsa (Gala Karya Mahasiswa UPGRIS 2025) yang diseleggarakan oleh UPGRIS bekerja sama dengan Literatour di Balairung, pada 16 Oktober 2025.

Bayu yang telah satu dekade berkarir di bidang kreasi digital tersebut bilang, terus menerus berkiblat ke Jakarta justru hanya akan membuat pekerja kreatif sulit maju. Menurutnya, padangan itu harus diubah.

“Kita harus mulai berpikir desentralisasi, melepas pikiran Jakarta adalah pusat. Untuk itu saya mulai dengan membikin film dengan bahasa lokal,” terangnya.

Dampak dari keberpihakan pada kekayaan lokal akan sangat besar. Jika film atau konten digital yang dibuat oleh talenta-talenta lokal bisa bersaing dengan film nasional, tak perlu lagi terus-menerus mengekor pada Jakarta.

“Film dengan ide-ide lokal harus bisa dinikmati secara universal, sehingga bisa mengangkat UMKM, pariwisata, serta brand lokal,” ungkap sutradara film Sekawan Limo tersebut.

Lewat materi berjudul “Creative Thinking ala Mahasiswa UPGRIS di Tengah Tantangan zaman”, Bayu mencontohkan fenomena Hallyu di Korea Selatan sebagai momen kebangkitan industri pop di sana. Film-film Korea selalu punya keberpihakan pada nilai-nilai lokal di sana, seperti bahasa hingga produk ekonomi seperti hape dan mobil.

“Di sana, film selalu menampilkan produk-produk milik mereka sendiri, dan dari sana sebenarnya awal kebangkitan produk Korea yang kita pakai sekarang, seperti Samsung dan Hyundai,” terangnya.

Pada kesempatan yang sama, Furry Setya Raharja alias Mas Pur, aktor film sekaligus alumnus UPGRIS yang bertugas sebagai moderator acara, menekankan pentingnya adaptasi terhadap digital.

“Di era digital seperti sekarang, masing-masing dari kita harus bisa memanfaatkan teknologi digital, salah satunya menjadi konten kreator. Yang guru bisa garap konten pendidikan, yang lain bisa apa saja asal punya nilai positif, sukur-sukur edukatif,” terangnya.

Sementara itu, Rektor UPGRIS, Dr. Sri Suciati, M.Hum, menggarisbawahi pentingnya konsistensi dan kedisiplinan dalam menekuni bidang dan industri kreatif.

“Konsistensi adalah kunci kesusksesan dari saudara Bayu Skak. Sejak bertahun-tahun lamanya, Bayu Skak ini merintis karir di bidang industri digital. Itu yang dipetik darinya sekarang,” ucapnya. Suciati mengingatkan, untuk sampai ke titik yang sekarang, mereka sudah begitu banyak menghabiskan waktu untuk terus berpikir dan mencari inovasi.

Dalam acara tersebut, dilaksanakan pula peluncuran buku “Kecintaan Belajar yang Menumbuhkan Harapan: Jejak Delapan Janji Mahasiswa Baru UPGRIS 2025”. Ada lima mahasiswa yang dianggap sebagai penulis terbaik yang didaulat mendapat penghargaan dari pimpinan UPGRIS. Mereka adalah Eka Diah Puspita, Muhammad Arif Maulana, Bamakerti Nathan Arganda, Gabriela Naibaho, dan Denis Febrian.