Perhatian terhadap isu kekerasan dan kesehatan mental di kalangan anak muda kian menguat. Media sosial turut mewartakan kampanye terhadap isu kesehatan mental dan pencegahan kekerasan. Hal itu muncul lantaran begitu banyak anak muda menjadi korban kekerasan maupun pelecehan seksual, baik secara verbal maupun yang datang dari dunia maya (kekerasan daring).
“Kekerasan menjadi sumber salah satu penyebab persoalan yang menyerang mental anak muda hari ini. Untuk itu, kami berkomitmen untuk menciptakan ruangan yang aman bagi individu, yaitu seluruh sivitas akademik di UPGRIS.”
Pernyataan tersebut disampaiakan oleh Desi Maulia, S.Psi., M.Psi., Ketua Pusat Studi Kependudukan, Perempuan dan Perlindungan Anak, LPPM UPGRIS, saat membuka acara “Sosialisasi Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi bagi Mahasiswa” yang diselenggarakan oleh kerja sama PSKPPA LPPM dengan PPKPT UPGRIS di Kampus IV Gajah, pada 23 Desember 2025.
Desi menambahkan, ruang aman akan memicu naiknya potensi kecerdasan dan kreativitas anak muda. Sehingga peran ruang aman itu sangat penting bagi mahasiswa. “Bisa mengoptimalkan belajar bagi mahasiswa. Aman secara fisik psikologis dan sosial, akan membuat mereka lebih terpacu untuk mengembangkan bakat dan kecerdasan.”
Selain itu, menurut Desi, sosialisasi ini juga bentuk pengenalan Satgas PPKPT UPGRIS, sekaligus memberikan materi terkait tindakan nyata dalam menciptakan ruang aman, mngedepankan budaya saling menghormati, serta menghindari normalisasi kekerasan. Sosialisasi oni dihadiri oleh 66 mahasiswa yang berasal dari kalangan aktivis kampus dan pengelola organisasi mahasiswa.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Rektor IV, Prof. Dr. Nur Khoiri, S.Pd., M.T., M.Pd., menyambut baik acara sosialisasi tersebut. “UPGRIS punya komitmen yang kuat dalam menjaga ruang aman bagi mahasiswa untuk bertumbuh. Sosialisasi ini adalah upaya riil agar tindakan kekerasan tidak terjadi di lingkungan kampus.”
Sementara itu, Dr. Arri Handayani, S.Psi., M.Si., selaku Ketua Stgas PPKPT UPGRIS, dalam pemaparannya, mengajak mahasiswa untuk terlibat akatif ketika menemukan tindak kekerasan. “Jangan takut, mahasiswa harus berani melaporkan ke kami jika menemukan indikasi kekerasan. Laporan mahasiswa, baik korban, teman korban, atau siapapun yang melihat. Ruang aman hanya akan tercipta jika kita saling peduli.”
Narasumber lainnya, CVR Abimanyu, S.Psi., M.Psi., seorang psikolog dari Soegijapranoto Chatolic University, menyebut ada beberapa faktor penyebab terjadinya tindak kekerasan dan pelecehan di kampus. “Adanya ketimpangan relasi kuasa, baik itu antara dosen dengan mahasiswa, maupun sesama mahasiswa di dalam onteks senior-junior.”
Abimanyu juga menyoroti budaya diam masyarakat. “Mereka takut melapor karena ancaman nilai akademik atau stigma sosial. Selain itu juga ada kebiasaan menormalisasi. Masyarakat banyak yang masih beranggapan bahwa perpeloncoan atau godaan verbal adalah hal yang “biasa” dalam dinamika kampus.”

