Teliti Model Penilaian Otentik Berbasis Performance Wiyaka Raih Gelar Doktor

Teliti Model Penilaian Otentik Berbasis Performance wiyaka Raih Gelar Doktor

Drs. Wiyaka, M.Pd Dosen Program studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), Senin (5/3) raih gelar Doktor pada ujian terbuka Pendidikan Bahasa Inggris dari Program Pascasarjana Unnes. Judul Disertasi ai???Developing a Model of Authentic Performance-Based Assessments in Reading for Senior High School EFL Leanersai??? (Pengembangan model Penilaian Otentik Berbasis Performans pada Kemampuan Reading (membaca) siswa SMA). Sebagai Promotor Ai??Prof. Mursid Saleh, M.A., Ph.D. Ko-Promotor Prof. Dr. Januarius Mujiyanto, M.Hum, Anggota Prof. Dr. Dwi Rukmini, M.Pd.

Rektor UPGRIS Dr Muhdi SH MHum menyampaikan kelulusan Dr Wiyaka MPd adalah capaian yang dapat memberikan isnpirasi atau ide baru dunia pendidikan. ai???Semoga dengan hasil Disertasinya mampu memberikan manfaat yang besar bagi pemangku kebijakan pendidikan di tanah air,ai???imbuh Rektor UPGRIS.

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya kondisi riilAi?? di lapanganan terkait praktik pengajaran dan penilaian hasil belajar Bahasa Inggris di sekolah sebagai berikut, Salah satu perubahan yang ditawarkan dalam kurikulum terbaru 2013Ai?? adalah pada Standard penilaian dimana guru tidak hanya menilaian aspek pengetahuan (knowledge), tetapi juga ketrampilan (skills) dan sikap (attitude). Model penilaian yang ada cenderung masih bersifat tradisional dengan tipe pilihan ganda atau isian singkat. Penilaian semacam ini tidak mampu mengukur kompetensi siswa secara utuh, hanya bisa menilai aspek pengetahuan (knowledge).

Kurikulum 2013 mengharuskan guru untuk menggunakan penilaian otentik dalam menilai hasil belajar siswa, karena penilaian otentik dapat mengukur semua aspek kompetensi siswa. Dalam kenyataannya, para guru belum banyak yang dapat melakukan penilaian otentik karena lebih rumit dibanding dengan penilaian konvensional semacam pilihan ganda atau jawaban singkat. Di sisi yang lain, kementerian pendidikan dan kebudayaan tidakAi?? menyediakan model atau contohAi?? penilaian otentik untuk masing-masing mata pelajaran.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian Pendidikan disebutkan bahwa penilaian oleh guru dapat dilakukan melalui Tes tulis, Tes Lisan, Unjuk kerja, Penilaian diri, portofolio, produk, proyek. Tiap mapel memiliki kekhasan dalam teknik penilaiannnya. Karena merupakan ssuatu yang baru dan belum ada conoth model yang dapat menjadi pegangan guru, para guru masih enggan melaksanakan peniilaian otentik seperlti diamanatkan oleh K-2013. Produk dari penelitian ini adalah sebuah prototype model yang dapat digunakan guru Bahasa Inggris jenjang SMA atau guru Bahasa Inggris pada umumnya untuk dapat mengimplementasikan penilaian otentik di kelas.

Model ini diperuntukkan menilai keketrampilan membaca (reading) karena menurut promovendus yang juga Kepala pusat Kurikulum dan PPL Universitas PGRI Semarang ini kemampuan membaca harus menjadi prioritas tujuan pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia karena beberapa alasan. Pertama, pelajaran Bahasa Inggris hanya diberikan dalam 2-4 jam di sekolah sehingga mustahil mengharapkan anak bisa menguasai semua ketrampilan berbahasa sekaligus hanya dari pelajaran di kelas. Sehingga harus ada prioritas.Pilihan pada kecakapan membaca menjadi sangat relevan dengan kebijakan pengembangan literasi di Indonesia.

Disamping itu hasil-hasil tes berskala internasional juga menunjukkan bahwa aak-anak Indonesia memiliki kemampuan membaca yang rendah disbanding anak-anak negara tetangga. Hasil test PISA atau PIRLS menujkkan kemampuan literasi atau membaca anak-anak Indonesia menduduki peringkat buncit. Salah satu sebabnya ditengarai karena tes kemampuan membaca selama ini hanya mengukur tingkat pemahaman yang rendah,belum diarahkan untuk mengukur kemampuan berfikir tingkat tinggi (Higher-order thinking skills). Akibatnya, ketika disodori soal yang menuntut analisis yang agak kompleks, anak Indonesia kesulitan menjawabnya. Juga karena anak Indonesia terbiasa dengan model soal pilihan ganda, sehingga ketika disodori soal berbentuk uraian atau analisis-evaluasi, mereka kesulitan menjawabnya.

Dr Wiyaka MPd berharap para guru disarankan untuk berani meninggalkan zona nyaman dalam memberikan tes atau penilaian pada siswa. Saatnya harus merubah mindset untuk tidak hanya mengandalkan model tes konvensional yang terbukti tidak efektif untuk mengukur hasil belajar yang komprehensif. Guru harus mau mencoba model penilaian alternative yang memungkinkan siswa dapat menampilkan kemampuan sesungguhnya dalam penguasaan Bahasa Inggris terutama yang terkait dengan kemampuan membaca (reading).

Leave a Reply