Salah satu efek dari maraknya media sosial (medsos) adalah meningkatnya kebiasaan berkomentar. Namun, seringkali orang-orang yang berkomentar di medsos tidak menyadari adanya potensi kriminal. Itu bisa terjadi ketika kata-kata yang disampaikan menyinggung privasi seseorang, atau bahkan dianggap telah menyebarkan kebencian.
“Tindakan berbahasa, baik itu secara verbal diucapkan maupun melalui kata-kata di media sosial, bisa memicu kasus hukum. Terutama jika sudang menyinggung hal-hal yang berkaitan dengan agama, suku, pelecehan, maupun makian kepada institusi negara,” ucap. Prof. Aprinus Salam dalam acara Seminar dan Bedah Buku “Kesalahan dan Kejahatan dalam Berbahasa” (Kompas, 2024) yang diselenggarakan oleh S2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UPGRIS, di Gedung Pascasarjana, baru-baru ini.
Tindakan berbahasa yang memungkin adanya tindakan kriminal ialah ketika mengandung unsur-unsur seperti penghinaan, pelecehan, hujatan, pencemaran nama baik, dan sebagainya. “Permasalahannya, seringkali orang-orang yang menulis di medsos tidak sepenuhnya paham akan konsekuensinya. Padahal itu termasuk tindakan berbahasa yang harus bisa dipertanggungjawabkan,” tambahnya.
Dosen yang juga penyair itu menceritakan, kepakarannya sebagai ahli bahasa dan akademisi membuatnya kerap dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli. “Saya sering diundang oleh pengadilan sebagai saksi ahli bahasa, terutama untuk menangani kasus-kasus yang berhubungan dengan tindakan berbahasa. Dan sebenarnya, hukum sendiri adalah persoalan bahasa, sebab hukum ditulis melalui bahasa yang kemudian ditafsirkan oleh penegak hukum,” terangnya.
Direktur Pascasarjana UPGRIS, Prof. Dr. Harjito, M.Hum, dalam kesempatan yang sama menyebut pentingnya kehati-hatian dalam berbahasa. “Munculnya dampak hukum yang dimunculkan dari tindakan berbahasa mengingatkan kita pentingnya berbahasa yang benar di medsos. Untuk itu, mohon maaf, kita harus bijak dalam berkomentar,” ucapnya.
Ditambahkan, apalagi bagi para mahasiswa, guru, dan kalangan akademisi. Setiap tindakan berbahasa harus memiliki referensi data, sehingga tidak terjebak dalam asumsi kosong maupun fitnah. “Jejak digital itu akan berbahaya jika apa yang kita sampaikan tidak punya referensi atau data sebagai penopang argumen,” tambahnya.
Sementara itu, Kaprodi S2 PBSI UPGRIS, Dr. Nazla Maharani Umaya, M.Hum, menekankan pentingnya buku tersebut bagi mahasiswa. “Buku ini penting sekali dibaca mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Selain sebagai pengingat untuk lebih bijak dalam berkomentar di medsos, buku ini juga memberikan wawasan terkait profesi ahli bahasa.”
Menurut Nazla, profesi yang ditekuni Prof. Aprinus punya potensi karier yang bagus. “Rupanya menjadi ahli bahasa juga membuka peluang karier lain, seperti yang dilakoni Prof. Aprinus sebagai ahli bahasa di pengadilan,” terangnya. Acara tersebut berlangsung khidmat. Dan dihadiri oleh mahasiswa dan kalangan umum.


(13) Comments
Comments are closed.