Puisi bisa menjadi ajang mencatatkan pengalaman sang penyair. Lewat puisi, pengalaman itu terkisahkan lewat diksi, metafor, dan perumpamaan yang diciptakan oleh penyair. Bahkan lewat puisi pembaca bisa meraba-raba apa yang sebenarnya menjadi perhatian penyair.
Hal itu berlaku pada penyair Handry TM. Dalam acara bedah bukunya yang berjudul Eventide, yang digagas oleh Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni UPGRIS (06/12), di Kampus 4. Acara menampilkan Nur Hidayat (dosen sastra UPGRIS), Teguh Satria (guru dan teaterawan), dan dimoderatori oleh Muhajir Arrosyid.
Nur Hidayat mendapati puisi-puisi Handry mencoba menyentuh hal-hal yang hidup dalam dunia urban dan kosmopolitan. “Untuk itulah, dalam puisi-puisinya Handry menghadirkan pernak-pernik musisi, musik jazz, hingga cerita-cerita dari negeri yang jauh. Bahkan dalam konteks jazz, Handry mencoba mengangkut tokoh-tokoh jazz dalam puisinya, seperti Wynton Marsalis, pemain terompet kegendaris.”
Dengan demikian, pembaca harus punya seperangkat pengetahuan dan memahami konteks tema-tema puisi karya Handry TM agar bisa memahami puisi-puisi Handry secara utuh. Nah, ini tentu tantangan bagi mahasiswa.
Sedangkan dalam pengakuannya, Handry TM mengakui banyak puisi-puisinya yang memang ditulis setelah berkunjung ke pelbagai negara. “Selain itu, puisi puisi yang saya tulis adalah hasil dari perenungan, terutama terkait umur saya yang sudah mendekati senja. Dan karena itulah saya memilih judul “Eventide” yang berarti senja.”
Sedangkan Teguh Satrio lebih mengajak ke hadirin agar memahami betala puisi pada hakikatnya punya kemerdekaannya sendiri untuk ditafsir sesuai pemahaman pembacanya masing-masing. “Penyair merasa merdeka karena karyanya berhasil terpublikasikan lewat buku. Sedangkan puisi merdeka untuk didekati atau dimaknai dari tafsirnya masing. Untuk itulah menariknya sebuah puisi,” ungkap Teguh.
Di sisi lain, Dekan FPBS menegaskan bahwa acara bedah buku sangat penting bagi pemahaman mahasiswa tentang sastra. “Dengan acara ini, saya harap mahasiswa bisa tergoda untuk menulis, baik itu puisi, novel, maupun esai,” pungkas Asrofah yang belum lama ini meraih gelar doktor setelah meneliti novel Ronggeng Dukuh ParuK.[]