Suasana haru, bangga, dan optimisme memenuhi Balairung Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia Semarang (UPGRIS) saat kampus tersebut menggelar perayaan Wisuda ke-81. Momen sakral ini merayakan kelulusan total 1.335 wisudawan yang siap mengarungi dunia profesional.
Mengingat tingginya jumlah peserta, upacara wisuda terpaksa dibagi menjadi dua tahap yang diselenggarakan selama dua hari berturut-turut, yaitu pada tanggal 7 dan 8 Oktober 2025. Rektor UPGRIS, Dr. Sri Suciati, M.Hum, menyoroti berbagai capaian istimewa yang menjadikan wisuda kali ini terasa lebih membanggakan. Beliau mengungkapkan bahwa kualitas akademik lulusan UPGRIS semakin teruji melalui jalur-jalur non-konvensional yang menantang.
“Wisuda ke-81, Alhamdulillah ini ada 1.335 wisudawan,” ujar Rektor Suciati saat memberikan sambutan di Balairung UPGRIS pada Selasa (7/10). “Yang membanggakan, terdapat 195 wisudawan yang berhasil lulus tanpa skripsi karena mereka telah sukses memublikasikan karya ilmiahnya di jurnal terakreditasi.” Capaian ini secara jelas menunjukkan fokus kampus pada peningkatan mutu penelitian yang berstandar tinggi sejak tingkat mahasiswa.
Selain itu, sebanyak 588 mahasiswa lainnya juga dinyatakan lulus dengan bekal tambahan berupa sertifikat kompetensi yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Sertifikasi ini berfungsi sebagai penjamin kesiapan kerja para lulusan, memastikan bahwa mereka tidak hanya memiliki pengetahuan teoretis, tetapi juga keterampilan praktis yang diakui secara nasional untuk bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif.
Rektor Suciati melanjutkan penjelasannya mengenai perkembangan institusi. UPGRIS saat ini telah menyandang status Akreditasi Unggul. Namun, ambisi kampus tidak berhenti di situ; UPGRIS kini tengah memproses target yang lebih tinggi, yaitu meraih akreditasi internasional untuk 12 program studi.
Langkah strategis ini dilakukan semata-mata untuk meningkatkan mutu pendidikan, mempersiapkan lulusan bersaing di ranah global, dan secara konsisten memberikan pelayanan terbaik bagi mahasiswa. “Kalau kami berprestasi itu bukan untuk diri kami sendiri, tetapi sesungguhnya kami lakukan untuk sebaik-baiknya para mahasiswa kami dan untuk membekali sebaik-baiknya para lulusan kami,” tegas Sri Suciati, menekankan filosofi pelayanan kampus.
Untuk menjawab kebutuhan dan perkembangan zaman, setiap program studi di UPGRIS telah membentuk Center of Excellence atau pusat keunggulan yang disesuaikan dengan relevansi industri dan teknologi informasi. Misalnya, Program Studi Bahasa Indonesia kini menonjolkan kompetensi di bidang penyiaran serta Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Sementara itu, Program Studi Kependidikan difokuskan pada penguasaan media pembelajaran berbasis multimedia, memastikan calon pendidik mampu beradaptasi dengan teknologi terbaru di kelas.
“Kami betul-betul sudah adaptasi dengan perkembangan teknologi informasi, sehingga calon non-guru juga tidak boleh berhenti untuk terus belajar menyesuaikan diri dengan dunia kerja, dunia pendidikan sekarang,” tutup Rektor.
Kemeriahan Wisuda ke-81 semakin lengkap dengan kehadiran tokoh publik, Furry Setya Raharja, aktor yang dikenal luas lewat perannya sebagai Mas Pur dalam sinetron Tukang Ojek Pengkolan. Furry menjadi salah satu wisudawan yang menempuh pendidikan melalui jalur Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL) UPGRIS.
“Alhamdulillah akhirnya saya bisa wisuda. Ini pencapaian luar biasa buat saya karena perjalanan saya kuliah tidak mudah,” ungkap Mas Pur, berbagi kisahnya. Ia sempat terhenti kuliah sejak tahun 2007 dan baru berkesempatan melanjutkan pendidikannya kembali melalui jalur RPL pada tahun 2023.
Motivasi utamanya adalah orang tua. “Saya ingin memberikan hadiah kelulusan ini untuk mereka,” katanya dengan haru. Ia juga memuji program RPL UPGRIS yang dianggapnya “luar biasa” karena memberikan peluang bagi para pekerja untuk tetap menempuh pendidikan tinggi dengan jadwal kuliah yang fleksibel (sore, malam, Sabtu, atau Minggu).
Pada akhir kesempatan, Mas Pur menyampaikan pesan yang tegas dan menyentuh hati mengenai profesi guru. “Saya enggak setuju dengan istilah guru itu adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Kalau memang guru adalah pahlawan, sudah seharusnya pemerintah memperhatikan kesejahteraan untuk para pahlawan,” kritiknya, menutup rangkaian upacara wisuda dengan pesan mendalam tentang penghargaan terhadap profesi pendidik.

