Ada pelbagai cara menyampaikan kritik, di antaranya lewat puisi. Kritik yang diungkapkan lewat puisi bisa terasa lembut meski maknanya begitu dalam. Inilah yang dilakukan oleh Kusfitria Marstyasih, penyair dan ibu rumah tangga yang menulis buku. Di Balik Jendela Koruki, dalam bedah buku bertajuk Buku, Puisi, dan Perempuanai, yang diselenggarakan oleh Progdi S2 Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia Program Pascasarjana Universitas PGRI Semarang (27 Oktober 2017).
Dalam acara ini juga dibedah buku puisi aiSi Anak Elang Pulang karya Ibrahim Bhra. Dalam salah satu bukunya ada puisi yang berjudul Sri Lestari. Puisi ini mengisahkan seorang buruh pabrik bernama Sri Lestari. Ia tidak sempat mendapat pendidikan di sekolah karena harus bekerja. Sri Lestari/ Hanya tersipu/ jika di trotoar/ bisu berpapasan dengan putih abu-abu// Sayang sekali/Sri Lestari tak pernah tidur. Dr. Harjito, M.Hum., sebagai pembahas buku ini menyatakan Kusfitria telah memiliki gaya tersendiri.
Jika di kemudian hari Kusfitria terus menulis, saya yakin gayanya akan semakin kuat dan khas, ungkap Ketua Prodi PBSI Program Pascasarjana UPGRIS. Apalagi menurutnya, Kusfitria adalah seorang ibu rumah tangga yang mau menyempatkan diri mencatat pengalaman keseharian. Ini sangat membantu menyokong perkembangan kualitas tulisan-tulisannya.
Dalam kesempatan yang sama, Ibrahim Bhra menceritakan bahwa prosesnya menulis sudah terjadi sejak tahun 2008. Ia menulis banyak puisi sebagai seorang penyair yang juga memiliki perspektif seorang teaterawan. Saya memiliki jiwa seorang teaterawan. Dan hal ini terbawa ketika menulis puisi. Dampaknya, puisi saya selalu menekankan pada efek bunyi yang dihasilkan ketika puisinya dibaca atau dipanggungkan, ungkap dedengkot Teater Tikar Semarang ini.
Ibrahim Bhra juga mengisahkan, puisinya kerap ditulis berdasarkan suasana hati. Misalnya, ia tengah mengalami perasaan yang sulit ia jelaskan. Menulis puisi membantunya meluapkan apa yang mengganjal dala hatinya.
Hal ini diamini oleh Subur L. Wardoyo, P.hD, yang mengatakan bahwa puisi-puisi Ibrahim memiliki getaran ketika dibacakan. Contohnya puisi Sajak Belajar Menulis Puisi di Era Demokrasi: Ini zaman telah demokrasi,/ Kenanglah reformasi/ kenanglah orde-oede elit berdasi/ kenanglah saudara kita yang mati untuk negeri. Ada penekanan ang membuat puisi Ibrahim berbunyi, yaitu karena adanya dialog antara narator dan pembaca, ungkap Subur dosen Magister Ilmu Susastra UNDIP ini.[]