Ahmad Abror agak malu-malu ketika menceritakan pengalamannya menghadapi sumur kering di pesantrennya. Baginya, mendapat jatah sehari sekali untuk mandi tak bisa dia tolak. Sumur di pesantrennya memang sudah langganan kering setiap musim kemarau tiba. Dan untuk menghadapinya ia bersama teman-temannya sudah terbiasa jika harus mengungsi mandi ke tempat warga di sekitar pesantren.
“Biasanya saya nunut mandi dari air dari sekolah terdekat yang menyediakan air pam,” kisahnya. Sebenarnya menumpang mandi tak jadi masalah baginya seumpama para tetangga di sekitar pesantren tak keberatan. “Kadang ada yang marah-marah kalau keseringan ditumpangi, mas,” ucapnya sembari tersenyum tipis-tipis.
Siang itu terasa begitu terik tetapi Abror tetap saja memakai baju koko panjang berwarna putih, yang dilengkapi dengan kopiah hitam sebagai penutup kepala serta sarung yang menutup auratnya. Sudah lima tahun remaja ini mondok di Pesantren Sultan Fatah di Wonosari, Ngaliyan, Semarang.
Safiul Anam sudah terbiasa jika harus mengatur para santri agar saat mencuci pakaian bisa serentak agar lebih menghemat air. Sebagai salah satu ustad di pesantren Sultan Fatah, ia mesti memikirkan bagaimana menghemat air. “Biasanya santri saya jatah mandi sekali sehari, dan cuci baju tiap akhir pekan,” terang lelaki yang murah senyum ini. Ia dan 110 santri yang ada si pesantren ini menganggap persoalan air sudah jadi langganan biasa.
Pesantren Sultan Fatah memang dibangun di atas struktur tanah yang lebih tinggi dibanding sekitarnya. Dekat lereng bukit pula. Meski terletak di pinggir jalan persis, yaitu di sebelah kiri jalan Ngaliyan-Mangkang, tepatnya sekira seratus meter sebelum kantor kelurahan Wonosari, pesantren ini nyaris tak terdeteksi seumpama tidak ada sebuah plang papan nama di atas sebuah gang masuk selebar sekira satu setengah meter. Tepatnya di Jl.Jend.Urip Sumoharjo Km.13 Wonosari RT.02., RW.08, Ngaliyan, Semarang.
Kisah tentang penghuni pesantren yang kesulitan mendapatkan air itu masa lalu. Beberapa bulan belakangan, para santri dan penghuni di sana sudah merasa tercukupi untuk kebutuhan air. Sebuah pompa air dan tandon berukuran besar beserta instalasi salurannya sudah dibangun berkat program Pengabdian Masyarakat Fakultas Teknik dan Informatika Universitas PGRI emarang yang bekerja sama dengan Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) dan Otoritas Jasa Keuangan Regional III Jawa Tengah. Hari itu perwakilan kedua belah pihak hadir untuk meresmikan (04/09).
“Pembangunan pompa air ini memang dimaksudkan agar persoalan air di pesantren ini bisa teratasi. Pesantren yang menampung banyak anak-anak kurang mampu ini wajib mendapat perhatian. Ke depan, urusan jaringan kelistrikan di pesantren ini juga perlu dibenahi,” ungkap Dekan FTI Drs. H.Bambang Supriyadi, M.P. Program ini memang melibatkan seluruh jajaran dosen di seluruh Fakultas Teknik, yaitu Prodi Teknik Elektro, Teknik Mesin, Teknik Sipil, Arsitektur, Informatika dan Teknologi Pangan.
Sementara itu, Bambang Triyono dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menceritakan bahwa keterlibatan mereka dalam program ini bermula dari keinginan pimpinan untuk turut berbagi. “Bermula dari keinginan untuk sedekah, terutama yang diperuntukkan bagi yang membutuhkan. Akhirnya setelah bertemu dengan pihak UPGRIS, kami sepakat memberi bantuan berupa pompa air dan tandon. Benar-benar tepat guna,” ungkapnya di sela sambutan peresmian. []