Meski pengguna internet di Indonesia didominasi kaum generasi muda atau milenial, namun rupanya tidak diimbangi dengan pemahaman tentang literasi digital. Masih ada yang belum bisa menggunakan teknologi informasi, dalam menemukan, mengevaluasi, memanfaatkan, atau mengkomunikasikan konten, dengan kecakapan kognitif maupun teknikal.
“Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), jumlah total jumlah pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 196,71 juta atau sekitar 73,7% dari total penduduk. Dari angka tersebut, 49,52% di antaranya adalah anak muda, dengan rentang usia 19-34 tahun,” papar Wakil Rektor I Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) Dr Sri Suciati, dalam seminar literasi nasional (Semitra) V ‘Literasi Generasi Layar Sentuh’, yang digelar secara digital melalui aplikasi zoom di kampus tersebut, Semarang, Kamis (3/12/2020).
Namun sayangnya, dari jumlah tersebut, khususnya anak muda atau generasi milenial, belum semuanya semuanya memiliki literasi digital yang cukup.
“Ada banyak diantara mereka yang menjadi korban penipuan online, atau terpapar hoaks dari berita palsu lewat medsos atau berita digital, yang tidak bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya,” lanjutnya, dalam kegiatan yang digelar Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) UPGRIS tersebut.
Dipaparkan, dari survei insight center, dari skala 5, indeks literasi digital nasional Indonesia sebenarnya sudah cukup bagus, di angka 3,47. Namun, korban hoaks saat mengakses internet masih tinggi antara 30% – 60%. Sementara, yang mampu mengenali hoaks, baru di angka 21%-36%.
“Ini artinya literasi digital dibutuhkan, namun belum semua, khususnya generasi milenial, termasuk di dalamnya para pelajar hingga mahasiswa, yang belum paham betul mengenai literasi tersebut,” lanjutnya.
Saat ini, tambahnya, literasi dimaknai dalam konteks yang luas, seperti literasi informasi, komputer, sains, budaya, hukum, hingga keuangan, yang semuanya merujuk pada kompetensi lebih dari sekadar baca, tulis, dan hitung.
“Literasi digital sangat penting untuk digencarkan. Memiliki literasi digital yang baik, berarti mampu memproses berbagai informasi, dapat memahami pesan dan berkomunikasi efektif dengan orang lain, dalam berbagai bentuk. Termasuk menciptakan, mengelaborasi, mengkomunikasikan, dan bekerja sesuai dengan aturan etika. Sekaligus memahami kapan dan bagaimana teknologi, harus digunakan agar efektif untuk mencapai tujuan,” tandasnya.
Sementara, pembicara lainnya, Furry Setya Raharja, yang juga pemeran Mas Purnomo dalam Sinetron Tukang Ojek Pengkolan (TOP), menjelaskan saat ini sudah terjadi pergeseran budaya akibat adanya teknologi digital.
“Contoh mudahnya, ketika kita dulu teman-teman saling berkumpul di sangar Teater Gema, lalu membicarakan berbagai hal. Kita sekarang, kita berkumpul namun lebih menggunakan gadget. Istilahnya, malam menjauhkan yang dekat, mendekatkan yang jauh. Jadi percuma juga kita nongkrong, namun ngobrolnya lewat handphone dengan orang lain,” papar Furry.
Disatu sisi, keberadaan teknologi digital juga mampu dimanfaatkan dalam menciptakan kreativitas. Peluang untuk mengisi layar sentuh atau ruang digital, sangat luas tak terbatas.
“Saya mulai membuat konten mulai dari musik. Kemudian soal drama, hingga kemudian konten tanya jawab tentang berbagai hal. Termasuk dimanfaatkan untuk media pembelajaran. Jadi kreativitas, dalam konten digital ini memudahkan kita. Ini yang harus bisa dimanfaatkan, termasuk oleh para mahasiswa, generasi muda,” tandasnya.