Bela Korban Kekerasan Seksual

Kemajuan teknologi digital memberi pengaruh yang besar tehadap kehidupan remaja dan anak muda. Salah satu di antaranya ialah kebiasan swafoto dan foto bersama, baik untuk dokumentasi pribadi maupun untuk diunggah ke media sosial.

Saking terbiasanya berfoto, pada beberapa kasus ada pula yang kebablasan dan pada akhirnya berakibat buruk. Contohnya ialah pasangan muda-mudi yang terlibat hubungan asmara. Karena tidak bisa mengendalikan diri dan kurangnya pantauan orangtua, mereka berfoto dengan pose yang kurang etis.

“Ketika putus, disebar fotonya ke media sosial oleh mantan. Banyak kasus seperti itu terjadi, dan kebanyakan pihak perempuannya yang menjadi korban,” ungkap Niken Deva Nur Alissa, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas PGRI Semarang, pada 15 November 2021 silam.

Menurut Niken, korban revenge porn semacam itu justru mendapat cibiran dari masyarakat, padahal dia korban. “Yang nyebar cowok, tapi hukuman sosialnya yang kena perempuan,” tegas pengurus BEM Fakultas Hukum tersebut. Hal semacam itu sungguh tidak adil bagi perempuan.

Revenge porn sendiri mengacu pada aktivitas balas dendam dengan cara ancaman, pemaksaan, dan intimidasi, melalui konten asusila, baik itu berupa video, foto, maupun rekaman suara. Tindakan ini masuk dalam kategori kekerasan seksual. Ironisnya, kasus semacam ini justru dilakukan oleh orang yang pernah dekat dengan korban.

 “Pemihakan kepada korban harus diutamakan. Jika tidak, korban akan semakin tertekan. Hal inilah yang membuat korban rata-rata tak berani speak up dan semakin trauma,” ungkap dara kelahiran 13 Juni 2000.

Untuk membuktikan keseriusannya terhadap upaya mendukung korban revenge porn, Niken tengah mengajukan proposal skripsi yang membahas kasus tersebut dalam perspektif korban.