Bahasa dan Sastra Membentuk Karakter Manusia

Ada yang menggelitik pada saat seminar Bahasa dan Sastra PBSI Pascasarjana UPGRIS (14/12). Margi Erawati mengamati bahwa ada perbedaan penggunaan bahasa dan perilaku dalam realita masarakat dengan di media sosial. “Pada saat di masyarakat santun, tetapi di medsos sangat garang dan galak. Hal itu ditanyakan oleh Margi kepada para membicara seminar yang dibuka oleh Direktur Program Pascasarjana, Dr. Ngasbun Egar, M.Pdi Gedung Pascasarjana UPGRIS.

Seminar ini mengangkat tema “Peran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam Meningkatkan Kompetensi dan Karakter pada Era Revolusi Industri 4.0”.  Kegiatan tersebut merupakan kerja sama Program Magister Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonenesia UPGRIS dengan Ikatan Keluarga Alumni PBSI Pascasarjana UPGRIS. Ketua Panita Mustanginah, M.Pd menyampaikan peserta sejumlah 125 yang terdiri atas mahasiswa S1, S2, dan masyarakat umum. Acara itu dipandu oleh Irin Iriani, M.Pd.

Pembicara Miftahussalam, M.Pd, menyampaikan bahwa  guru harus mampu merancang pembelajaran melalui TIK yang berdasarkan permendikbud no.16/2013 tentang standar proses. Adapun pendidikan karakter bergantung bagaimana kita (calon guru/guru) untuk membentuk peserta didik. “TIK itu digunakan karena para murid kita sekarang sangat akrab dengan dunia teknologi. Namun demikian materi harus kuat dan komplit. Karakter dibentuk mulai keteladanan dan bagaimana guru menegakkan aturan di kelas,” jelasnya.

Sementara itu, Dr. Harjito , M.Hum menyatakan sastra Indonesia memiliki peran penting dan mulia paling tidak dalam dua hal. Satu, dalam era kecepatan, keserentakan yang bersifat efisien dan efektif, sastra mengingatkan sekaligus merefleksi kemanusian  manusia. Dua, dalam konteks berbangsa dan bernegara sastra Indonesia mengajarkan dan mengajak untuk dapat menghargai perbedaan serta memerangi hoaks, misalnya. Termasuk bagaimana masyarakat  bangga berbahasa dan bersastra Indonesia.

Menganggapi pertanyaan dari Margi Erawati, Harjito berpendapat, karena tidak bertatap muka maka masyarakat kehilangan kesungkanan, ia hanya membayangkan orang yang ia ajak komunikasi sesuai persepsi dan bayangan dalam dirinya. Komunikasi tatap muka itu lebih komplit karena tidak hanya tuturan tetapi ada gestur dan lain sebagainya. Hendaknya masyarakat tidak membedakan antara komunikasi tatap muka dengan komunikasi di media sosial.” []

Leave a Reply