Memahami Kembali Pancasila

Program Studi Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan (PPKn) FPIPSKR Universitas PGRI Semarang (UPGRIS) mengadakan webinar yang dikemas dalam “Ngobrol Bareng Peduli Pancasila” mengusung tema Pro Kontra RUU Haluan Ideologi Pancasila dilihat dari Filsafat, Hukum Tata Negara dan Ketahanan Nasional  Kamis (16/7). Kegiatan ini bertujuan untuk menambah wawasan mengenai esensi rancangan Undang-undang di Indonesia terkait RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Hadir para narasumber Dr. Agus Sutono, S.Fil., M.Phil pakar filsafat yang saat ini menjabat sebagai Dekan FPIPSKR UPGRIS, Dr. Maryanto, M.Si pakar Hukum Tata Negara yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor II UPGRIS, serta Ir. Suwarno Widodo, M.Si Pakar Ketahanan Nasional yang saat ini menjabat sebagai Wakil Rektor IV UPGRIS. Pancasila merupakan core philosophy negara Indonesia, sehingga konsekuensinya merupakan staatfundamentalnorm bagi reformasi konstitusionalisme. Pancasila merupakan suatu local genius dan sekaligus sebagai suatu local wisdom bangsa Indonesia. Nilai Pancasila secara fragmentaris terdapat dalam kebudayaan bangsa ( melewati proses komunikasi dan akulturasi dengan kebudayaan dan pemikiran lainnya) dikembangkan dan secara yuridis disahkan sebagai suatu dasar negara, dan secara verbal tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Dr. Agus Sutono, S.Fil., M.Phil  menjelaskan bahwa setidaknya terdapat tiga alasan draf RUU HIP perlu mendapat perhatian .Pertama, Pancasila menjadi dasar negara, sumber dari segala sumber hukum. “Karena itu, Pancasila seharusnya menjadi rujukan dalam setiap regulasi atau pembuatan UU.  RUU HIP justru  terkesan malah hendak menjadikan Pancasila sebagai UU. Pancasila menjadi standar nilai, bukan produk nilai. Pancasila dalam RUU HIP patut diduga berpretensi dijadikan produk nilai. Pancasila seharusnya tak boleh diatur oleh UU. Sebab, sejatinya seluruh produk hukum dan peraturan perundang-undangan merupakan implementasi dari Pancasila. Sementara, satu-satunya UU yang dapat mengatur institusionalisasi Pancasila hanya UUD 1945, bukanlah UU di bawahnya. Kedua, RUU HIP tidak mampu memisahkan ‘wacana’ dari ‘norma’. Pancasila dengan rumusan kelima silanya adalah ‘norma’. Rumusannya pun terjaga dalam naskah pembukaan UUD 1945. Sementara istilah ‘Trisila’ dan ‘Ekasila’ sebagaimana tertuang dalam Pasal 7 RUU HIP hanyalah ‘wacana’ yang muncul saat gagasan Pancasila kali pertama dipidatokan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Ketiga, RUU HIP berpretensi menjadi omnibus law. Padahal kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian. Pasal per pasal, RUU HIP hendak mengatur berbagai isu. Mulai soal demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi,”imbuh Dekan FPIPSKR UPGRIS.

Berbeda dengan narasumber kedua Ir Suwarno Widodo MSi menyampaikan jika Pancasila sebagai sumber nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara  di Indonesia pembahasannya sudah final sehingga RUU HIP tidak diperlukan lagi. “RUU HIP lebih banyak mengundang kontroversi berbagai kelompok masyarakat menambah energi masyarakat pemerintah yang sudah kelelahan menghadapi pandemi Covid-19. RUU HIP berpotensi melemahkan nilai-nilai luhur pancasila yang pada akhirnya bisa mengancam ketahanan ideologi bangsa Indonesia,” tutur Suwarno Widodo.

Kedudukan Pancasila sebagai Standar nilai dalam berbangsa dan bernegara, sebagai ideologi Negara, sebagai cita-cita luhur bangsa, sebagai Ground Norm, sebagai sumber dari segala sumber hukum, sebagai state fundamental norm, Pancasila itu sudah Final tidak perlu diperdebatkan lagi karena memiliki kedudukan yang paling tinggi di dalam perundang-undangan di Indonesia. Pancasila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh warga Negara Indonesia, maka tercipta tatanan kehidupan yang baik dan seimbang bangsa Indonesia menjadi Negara yang sangat besar. Pancasila sangat cocok dijadikan platform  kehidupan bersama bagi bangsa Indonesia yang sangat majemuk agar tetap terikat erat sebagai bangsa yang bersatu.

Pancasila merupakan konsensus yang tertuang dalam suatu cita-cita serta tujuan bersama dalam suatu landasan filosofis, the general goal of society or general acceptance of the same philosophy  of government. Dalam proses ketatanegaraan Indonesia, proses perumusan tentang cita-cita bersama  yaitu dasar filosofis negara.

 

Leave a Reply