Belajar dari Elizabeth D. Inandiak

Elizabeth D. Inandiak, penulis buku Centini, kekasih yang tersembunyi datang ke Upgris, (26/09) unutk memberikan kuliah umum di hadapan mahasiswa FPBS. Kuliah Umum yang diselenggarakan di Kampus 4 Jl. Gajah Semarang itu dimoderatori oleh Trianto Triwikromo. Tema yang diangkat pada kuliah umum kali ini adalah “Sastra dan Bencana.”
Anandiak menyatakan bahwa jarang sekali orang membicarakan tentang sastra dan bencana, padahal ada hubungan yang sangat dekat antara sastra dan bencana.

Apalagi di Indonesia, nenek moyang kita menitipkan pesan dan ilmu alam ke dalam cerita dan karya sastra. Di sini anara kenyataan, mitos, dan karya sastra berkelindan menjadi satu. Anandiak memberikan contoh pada akhir cerita Mahabarata, melalui mimpi Krisna mendapat kabar bahwa sebuah kota akan tenggelam dan dimasuki air laut, setelah kota benar-benar sepi air benar-benar menenggelamkan kota. Itu pada sat sekarang disebut Tsunami. Kota yang diceritakan oleh Krisna dalam Mahabbarata tersebut memang masih ada di dasar laut. Hal yang mulanya kita anggap sebagai mitos tetapi ternyata nyata. Inandiak juga bercerita tentang mengalamannya perjalanannya menuliskan cerita, bertemu dengan benda-benda, menghubungkannya dengan mitos, dan mewujud menjadi cerita lagi. Hal itu ia tulis menjadi sebuah buku baru berjudul Babad Ngalor-Ngidul. Jika di Barat dongeng berhenti pada dongeng, di sini dongeng terhubung dengan ruh, orang menari karena ada akar yang tradisi dan kebudayaan. Itulah mengapa Anandiak tertarik dengan Jawa. Sastra disini juga menjadi obat, menghibur dan menyelamatkan. Di Aceh, cerita rakyat memberi tahu jika ada tanda-tanda seperti tersebut di cerita rakyat itu maka warga harus pergi keketinggian. Orang yang melihat tanda itu dan memetuhunya maka akan terhindar dari bencana.

Inandiak merasa menjadi bagian dari Jawa, selain karena dia sudah tigapuluh tahun di Jawa, dia juga melahirkan di Jawa, ari-ari anaknya juga ditanam di Jawa. “Saya sudah tiga puluh tahun di Jawa, lebih lama dengan Anda yang baru berumur duapuluhan tahun. Namun, kini tidak ada kami, kalian, kita. Kita sama karena dalam sebuah seni tidak ada batas antara Timur dan Barat. Seni itu universal.

Leave a Reply